Pernyataan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang Indonesia dianugerahi sumber daya migas non konvensional bernama metana hidrat atau gas hidrat merupakan suatu yang harus disyukuri.

Pasalnya, cadangan energi tersebut sampai saat ini belum tersentuh. Hal itu tentu merupakan salah satu anugerah dan ‘harta karun’ di sektor energi yang melimpah, mulai dari minyak dan gas bumi (migas), pertambangan, hingga Energi Baru Terbarukan (EBT).

Sumber daya migas non konvensional Metana hidrat merupakan senyawa hidrokarbon yang unik, karena tidak seperti energi fosil lain yang berbentuk padat (batu bara), cair (minyak bumi), dan gas (gas alam), ia berbentuk kristal es.

Ia mudah terbakar karena di dalamnya terperangkap gas metana dalam jumlah besar. Julukan barunya adalah ‘Fire Ice’ atau si ‘Es Api’.

Dikutip dari CNBC Indonesia (28/6/21), Menteri ESDM Arifin Tasrif, bahkan menyebut sumber daya baru ini bisa diproduksi hingga 800 tahun lamanya.

“Kita harap ini bisa jadi sumber energi alternatif baru, ini mendukung ketahanan energi 800 tahun ke depan,” ungkapnya dalam webinar, Selasa (08/06/2021).

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, potensi gas hidrat ada di pinggir-pinggir benua, baik di Eropa, Afrika, Amerika Utara dan Selatan.

Berdasarkan data Badan Litbang Kementerian ESDM, dua area diketahui menjadi tempat akumulasi gas hidrat itu yaitu area permafrost di sekitar Kutub Utara dan sea beds di laut dalam. Namun, Indonesia pun juga punya potensi gas hidrat ini.

Berdasarkan survei di awal tahun 2004, Indonesia berhasil menemukan sumber daya metana hidrat sebesar 850 triliun kaki kubik (TCF) yang berada di dua lokasi utama yaitu perairan Selatan Sumatera sampai ke arah Barat Laut Jawa (625 TCF) dan di Selat Makassar Sulawesi (233,2 TCF).

Trending:  Angin Segar Bagi Hafidz AlQuran, Bisa Dapatkan Beasiswa Santri S1 dan S2

Sementara itu, besaran potensi metana hidrat ini juga disampaikan Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB Doddy Abdassah.

Dia mengatakan sebagai perbandingan, deposit gas alam mencapai 13.000 triliun kaki kubik (TCF). Sementara deposit gas hidrat di darat saja mencapai 5.000 – 12.000.000 TCF dan di bawah laut 30.000-49.000.000 TCF.

Lebih lanjut dia menjelaskan gas hidrat adalah sumber daya hidrokarbon non konvensional terbesar di bumi dan diperkirakan 50% deposit hidrokarbon tersimpan dalam bentuk gas hidrat.

 

Batu Bara

Komoditas tambang batu bara juga mencapai miliaran ton. Hal itu sebagaimana diungkapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif yang menyebut Indonesia dikaruniai sumber daya batu bara melimpah, yakni mencapai sebesar 149 miliar ton dan cadangan 38 miliar ton.

Dengan potensi sumber daya hingga ratusan miliar ton, menurutnya pemerintah akan membangun industri hilir batu bara agar nilai tambah yang dirasakan negara ini lebih besar.

Salah satu caranya yaitu dengan membangun proyek Dimethyl Ether (DME). Proyek gasifikasi batu bara menjadi DME ini bisa bermanfaat untuk mengurangi impor LPG yang kian melonjak tiap tahunnya.

“Beberapa perusahaan tengah mengembangkan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME dalam rangka mengurangi impor LPG,” jelasnya dalam webinar teknologi mineral dan batu bara, hari ini, Rabu (23/06/2021).

 

Energi Surya

Selain energi fosil, Indonesia juga dikaruniai ‘harta karun’ di sektor energi baru terbarukan (EBT), mulai dari potensi energi surya hingga panas bumi atau geothermal.

Untuk potensi energi surya, Indonesia dianugerahi potensi yang tak main-main, yakni mencapai sebesar 207,8 Giga Watt (GW).

Namun sayangnya, pemanfaatannya sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) baru 153,8 Megawatt (MW) atau hanya 0,07% alias kurang 1% dari potensi yang ada.

Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, Kamis (25/06/2021) mengatakan meski pemanfaatan belum maksimal tapi mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.

Pada 2015 pemanfaatan baru 33,4 MW dan sampai akhir tahun 2020 sudah mencapai 153,8 MW.

“Dari potensi sebesar 207,8 GW ini, kapasitas terpasang yang dimanfaatkan baru 153,8 MW, jadi baru 0,07%, kurang 1% dari potensi yang dimiliki,” ungkapnya.

 

Nikel

Disamping itu, Indonesia juga memiliki ‘harta karun’ yang tak bisa diabaikan di sektor pertambangan. Di sektor pertambangan mineral, salah satu komoditas yang memiliki sumber daya besar, bahkan hingga miliaran yaitu nikel.

Kementerian ESDM mencatat pada 2020 sumber daya bijih nikel RI mencapai 8,26 miliar ton dengan kadar 1%-2,5%, di mana kadar kurang dari 1,7% sebesar 4,33 miliar ton, dan kadar lebih dari 1,7% sebesar 3,93 miliar ton.

Adapun cadangan bijih nikel mencapai 3,65 miliar ton untuk kadar 1%-2,5%, di mana cadangan bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7% sebanyak 1,89 miliar ton dan bijih nikel dengan kadar di atas 1,7% sebesar 1,76 miliar ton.

Dengan rincian sebagai berikut, cadangan bijih nikel kadar di atas 1,7% tereka sebesar 1,72 miliar ton, tertunjuk sebesar 1,26 miliar ton, terukur sebesar 954 juta ton, terkira sebesar 990 juta ton dan terbukti sebesar 772 juta ton.

Sementara untuk cadangan bijih nikel dengan kurang dari 1,7% tereka sebesar 2 miliar ton,

tertunjuk 1,52 miliar ton, terukur sebesar 805 juta ton, terkira sebesar 1,30 miliar ton dan terbukti sebesar 589 juta ton.

Adapun nikel yang diperlukan untuk bahan baku baterai biasanya dengan kadar rendah di bawah 1,7%. Dengan potensi sumber daya nikel yang besar ini Indonesia pun bercita-cita menjadi raja baterai dunia di masa depan.

Sedangkan untuk total sumber daya logam nikel pada 2020 mencapai 214 juta ton logam nikel, meningkat dari 2019 yang tercatat sebesar 170 juta ton logam nikel.

Sementara jumlah cadangan logam nikel pada 2020 mencapai 41 juta ton logam nikel, lebih rendah dari 2019 yang mencapai 72 juta ton logam nikel.

Panas Bumi

Sumber daya panas bumi atau geothermal yang dimiliki Indonesia menduduki posisi kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS). Namun, sama seperti tenaga surya, pemanfaatan panas bumi juga belum optimal.

Dari sumber daya panas bumi sebesar 23.965,5 Mega Watt (MW), pemanfaatannya untuk Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) hingga 2020 baru mencapai 2.130,7 MW atau 8,9% dari total sumber daya yang ada.

Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Harris mengatakan, demi menekan harga listrik panas bumi yang masih mahal, pemerintah akan turut ambil peran dalam mengebor sumur eksplorasi panas bumi.

Lebih lanjut, Harris menegaskan bahwa minimnya pemanfaatan panas bumi sebagai pembangkit listrik disebabkan harganya yang jauh lebih mahal jika dibandingkan pembangkit EBT lainnya seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang saat ini berkisar 3,6-3,7 sen dolar per kWh.

Hingga saat ini, harga listrik panas bumi saat ini masih berada di posisi belasan sen dolar per kWh.

“Panas bumi belum bisa ke situ (3-4 sen dolar per kWh), target kita di bawah 10 sen dolar, yakni 7-8 sen dolar per kWh,” ungkapnya dalam diskusi Indonesian Geothermal Power Forum, Jumat (21/05/2021).

Iklan